Oleh : HG Sutan Adil
Ketua DPP FKMI (Forum Komunikasi Muslim Indonesia)
TendaBesar.Com - Opini - Aloon Aloon atau sekarang disebut alun alun merupakan tempat berkumpul dan sosialisasi warga serta menjadi landmark suatu kota, disamping juga untuk mempercantik dan sebagai tempat monumental dalam perjuangan sebuah daerah. aloon-aloon Buitenzorg merupakan alun alun pertama yang ada di kota Bogor yang dirancang dan direncanakan oleh Gubernur Jenderal Daendels, sekitar awal tahun 1800-an. Letaknya berada di arah barat daya kantor-gedung Asisten Residen Buitenzorg. Alun-alun ini berada di kampong Gedong Sawah.
Aloon-aloon kota Buitenzorg ini cukup luas saat itu. Luasnya sekitar area antara jalan Gedong Sawah, jalan Juaanda, jalan Kapten Muslihat, jalan Dewi Sartika, jalan Pengadilan dan bertemu lagi jalan Gedong Sawah.
Namun dalam perkembangannya wilayah aloon-aloon Buitenzorg ini lambat laun makin berkurang, apakah dijual atau disewakan, sehubungan dengan munculnya sejumlah bangunan baru.
Bangunan yang pertama muncul adalah pembangunan hotel di depan istana (Logement Buitenzorg) dan gedung Societeit.
Pada tahun 1850an Pemerintah Hindia Belanda menata kembali cabang pemerintahan di Buitenzorg. Dalam penataan ini bupati Kampong Baroe menjadi bupati tunggal dan rumah-kraton bupati Kampong Baroe direlokasi ke Sukahati (di Empang). Dalam rencana penataan pemerintahan dan relokasi ibu kota (kedudukan bupati) pembangunan area bupati diintegrasikan dengan pembangunan alun-alun yang baru di Empang atau Kampung Sukahati.
Sebelum alun-alun Empang dibangun, area aloon-aloon kota Buitenzorg direncanakan untuk peruntukkan bangunan pemerintah dan bangunan komersil. Aloon-aloon Buitenzorg dikorbankan dan sebagai alternatif akan dibangun alun-alun yang baru di Empang atau Sukahati.
Dengan adanya alun-alun Empang, tamat sudah nasib aloon-aloon Buitenzorg. Area eks aloon-aloon, wilayah kampong Paledang, wilayah kampong Gedong Sawah dan wilayah kampong Pabaton menjadi area Eropa-Belanda.
Pembangunan alun-alun Empang menjadi penanda pemisahan antara wilayah orang Eropa-Belanda dengan wilayah penduduk pribumi.
Di masa beberapa ratus tahun sebelumnya dimana penjajah dari eropa belum datang, daerah Empang atau Sukahati ini masih berupa lapangan yang luas dan dipenuhi rawa-rawa. Mulai dari alun-alun sampai ke pinggiran Sungai Sadane hingga ke tebing di Gang Ampera masih merupakan kawasan hutan yang cukup lebat. Di kawasan ini pula, pada tahun 1579 pernah terjadi pertempuran hebat antara laskar Banten dengan pasukan Padjajaran.
Peperangan hebat terjadi dengan melibatkan ratusan pasukan yang menggunakan berbagai senjata mulai dari parang, tombak kujang, panah, dan batu-batu besar yang digelindingkan dari atas bukit Bondongan. Sebelum berhasil mencapai benteng Pakuan, musuh sudah tunggang langgang menghindari ribuan anak panah yang melejit lepas dari busurnya, belum lagi batu-batu besar yang siap menindih tubuh dilemparkan dari atas bukit Bondongan.
Peperangan yang terjadi selama dua hari dua malam itu terjadi di sekitar lapangan atau alun-alun Empang ini. Namun pada saat itu juga, benteng pakuan telah berhasil dijebol dari dalam, karena penghianatan dari salah seorang santana Padjajaran, yang dalam cerita pantun "Dadap malang sisi Cimandiri" disebutkan bernama Jayaantea.
Dalam pertempuran itu, dua santana Padjajaran gugur yaitu Tohaan Sarendet, dan Tohaan Ratu Sangiang. Setelah musuh berhasil memasuki area keraton. Tak lama berselang, lima bangunan Keraton Padjajaran yang bernama Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati dihancurkan dan dibakar habis oleh laskar Banten. Bangunan keraton sebagian besar terbuat dari kayu dan atap rumbia itu pun musnah dalam satu malam. Tidak ada lagi sisa-sisa, apalagi peninggalan yang bisa disaksikan saat ini.
Setelah Padjajaran berakhir tahun 1579 itu, hampir seluruh kawasan pakuan Padjajaran atau Bogor ditinggalkan oleh seluruh penduduknya. Selama seratus tahunan itulah, Pakuan Padjajaran menjadi hutan belantara yang lebat, dan dihuni oleh binatang buas, sebelum ditemukan kembali oleh tim ekspedisi Scipio.
Pada masa Kerajaan Sunda Padjajaran masih berdiri, kawasan alun-alun Empang menurut cerita adalah tempat untuk prajurit Kerajaan melaksanakan hukuman, baik kepada penjahat maupun orang yang melanggar perintah.
Di alun-alun Empang ini juga pernah ada peninggalan batu monolit yang sayangnya kemudian dihancurkan untuk dijadikan batu pondasi.
Pada tahun 1754, Bupati Kampung baru mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal Jacob Mossel agar mendapatkan izin untuk menyewa tanah kampung Sukahati untuk menjadi tempat kediamannya.
Tercatat dalam sebuah dokumen Belanda tertanggal 29 Desember 1761 nomor 9092, disebutkan bahwa Bupati Kampung Baru yaitu Natanagara sudah berkedudukan di kampung Sukahati.
Terlihat pula disebuah Lukisan bertahun 1761-1775, tampak jelas menggambarkan suasana rumah Bupati Kampung Baru pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Parra. Di luar pagar alun-alun di depan rumah ada sebuah kolam besar yang disebut Empang.
Menilik sejarahnya, sebutan Empang sudah muncul sejak tahun 1770-an, dan secara perlahan namun pasti nama Empang mulai berangsur-angsur menggantikan nama Sukahati. Alun-Alun Empang yang telah terdokumentasikan tanggal 18 januari 1776, mengungkapkan tempat kediaman bupati di Sukahati terletak di sebelah timur Cisadane dekat muara sungai Cipakancilan, tidak jauh dari kampung Coblong.
Namun sayangya sekarang ini, dengan pembangunan kota yang semakin meningkat pesat dan kepadatan penduduk cukup tinggi, membuat lahan Alun-alun Empang yang seluas sekitar 3.660 m2 ini menjadi salah penataan. Terdata bahwa tanah Alun–alun empang ini merupakan wakaf dari kelaurga H. Rd. Adipati Aria Suriawinata (Mantan Bupati Bogor) yang dikenal pula dengan sebutan Mbah Dalem Sholawat, kepada Masjid Agung Empang (At-Thohiriyah).
Semoga saja pemerintahan dan pimpinan Kota Bogor saat ini bisa lebih perhatian lagi terhadap Alun-alun Empang ini yang merupakan Cagar Budaya dan Situs sejarah yang telah menjadi monumental dan saksi hidup betapa besarnya penjuangan warga bogor ini sejak kerajaan padjajaran yang lalu.
*) Penulis adalah Ketua DPP FKMI (Forum Komunikasi Muslim Indonesia)
Bogor, 14 Agustus 2021