Teori Sejarah Kerajaan Sriwijaya

ilustrasi kerajaan Sriwijaya.pikiran-rakyat.com

Oleh : HG Sutan Adil
Ketua DPP FKMI (Forum Komunikasi Muslim Indonesia)


BogorTendaBesar.Com - Bogor - Saat ini Kerajaan Sriwijaya terpublikasi luas adalah sejak George Cœdès  (1887-1969) seorang sejarawan Kolonial dari Prancis yang memproklamasikan kelahiran kerajaan niaga maritim itu melalui eseinya “Le Royaume de Çrivijaya” yang diterbitkan pertama kali pada 1918 dalam Bulletin de l’École française d’Extrême-Orient. Nama Kerajaan Sriwijaya ditemukan Cœdès melalui pembacaan sumber prasasti-prasasti yang berjumlah 23 di Palembang dan Semenanjung Melayu. Ia membandingkannya juga dengan prasasti di Tamil dan teks-teks Cina serta Arab.

Pada 1930-an, penemuan Cœdès dirayakan sama meriahnya oleh para politikus pergerakan maupun arkeolog. Sukarno dan Mohammad Yamin adalah di antara yang paling serius memanfaatkan Kerajaan Sriwijaya sebagai lambang keagungan masa lampau bangsa Indonesia yang baru berdiri. Penemuan lambang baru yang merupakan kerajaan yang berpusat di Sumatera, menawarkan semacam keseimbangan untuk menangkis kritik-kritik tentang dominasi Jawa dalam mengimajinasikan bangsa yang hendak dibentuk karena dominannya pengambaran Majapahit.

Tak pelak lagi, gagasan-gagasan Cœdès sukses memprovokasi pikiran para ilmuwan, bahkan para politikus pergerakan nasional yang hasilnya sangat jelas: sebuah bangsa merdeka dengan sederet bukti historis tentang kegemilangannya di masa lalu. Tak dapat dipungkiri, peluang memanfaatkan sejarah Sriwijaya sebagai strategi budaya yang berbeda dari yang sudah dilakukan oleh para pendiri bangsa telah terbentang luas.

Sebenarnya, sebelum Coedes mempublikasikan kerajaan sriwijaya ini, cerita mengenai sriwijaya dimulai pada tahun 1892 dimana seorang pegawai pemerintahan kolonial Hindia Belanda  J.K. van der Meulen membawa laporan ke Bataviaasch Genootschap, sebuah lembaga tempat berhimpunnya para ilmuwan kolonial. 

Kini kantor Bataviaasch Genootschap menjelma jadi Museum Nasional, Jakarta. Karena ada patung gajah pemberian penguasa Thailand di pekarangan depannya, gedung itu lebih sering disebut warga Jakarta; Museum Gajah. Apa yang dilaporan Van der Meulen itu, kemudian hari dikenal sebagai Prasasti Kota Kapur.

Penemuan inilah yang digadang-gadang memulai babak baru dalam menyingkap tabir sejarah Kerajaan Sriwijaya. Yakni, batu bersurat menyerupai lingga, di Pulau Bangka, sisi timur Sumatera. Tinggi 177 cm. Lebar bagian dasar 32 cm. Lebar puncak 19 cm. Terpancang di dataran berawa, menghadap langsung ke Selat Bangka.

Menelaah laporan itu, Bataviaasch Genootschap langsung memberangkatkan Johan Hendrik Caspar Kern, ahli epigrafi yang menangani bidang arkeologi di lembaga tersebut. Kern meneliti batu yang itu secara cermat sejak 1902. Dan, pada 1913 dia menulis naskah berjudul De Inscriptie van Kota Kapur. Termuat dalam majalah terkenal yang diterbitkan KITLV, Bijdragen Koninklijk Instituut (BKI), nomor 67.

Dalam majalah BKI, Kern menerangkan bahwa 10 baris tulisan yang terpahat di Prasasti Kota Kapur menggunakan aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuno. Dibuat pada 608 Saka atau 686 tarekh Masehi. Menurut bacaan dan tafsirnya, prasasti di tepi Sungai Mendu itu dimaklumatkan oleh seorang raja bernama Wijaya, yang menguasi Pulau Bangka pada abad 7.

Terdapat empat kata “sri wijaya” dalam prasasti tersebut. Sri Wijaya, menurut Kern, berdasarkan apa yang tertulis di prasasti, adalah nama seorang raja. Sri sebutan untuk raja. Dan Wijaya nama orangnya. Sri Wijaya, dibaca Kern, Raja Wijaya.

Tapi sayangnya, para ilmuwan sejarah yang menekuni bidang ini bersuara bulat bahwa Prasasti Kota Kapur merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang pertama kali ditemukan. Jauh sebelum Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuo, Prasasti Palas Pasemah dan lain sebagainya. Padahal Kern, ilmuwan pertama yang meneliti Prasasti Kota Kapur itu, tidak pernah menyebut Sri wijaya  adalah nama Kerajaan Sriwijaya.

George Coedes  terpukau dan berkali-kali dia  membaca De Inscriptie van Kota Kapur. Naskah Profesor Kern itu sungguh menarik minatnya. Hati Coedes berdetak. Lebih dari Kern, bagi dia, Sriwijaya bukan sekadar nama raja. Tapi sebuah kerajaan. Kata kedatuan dalam prasasti yang menurut Kern berarti beberapa Datuk, ditafsirkannya kerajaan.

Kemudian, dengan keberanian dan tentu saja kecerdasannya menggunakan hasil penyelidikan sarjana-sarjana lain, ilmuwan kelahiran Paris, 10 Agustus 1886, yang banyak menghabiskan hari-hari di perpustakaan itu menulis artikel berjudul Le royaume de Crivijaya. Naskah berbahasa Perancis yang artinya Kerajaan Sriwijaya.

Inilah narasi pertama yang memperkenalkan Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan. Tulisan ini dimuat dihalaman 1 hingga 36 dalam Bulletin de I’Ecole Francaise d’Extreeme Orient (BEFEO), tome XVIII, nomor 6, tahun 1918, buah kajian Coedes sontak mencuri perhatian dunia, setidaknya para ilmuwan sejarah.

Kajian Coedes ini menyebabkan  pengalihkan minat para sarjana sejarah, terutama para sarjana kolonial Belanda, yang pada waktu itu terlalu banyak memusatkan perhatiannya kepada sejarah Jawa. Sejarah Sriwijaya itu sangat menarik perhatian. Karena Kerajaan Sriwijaya lebih tua daripada Kerajaan Mataram dan kerajaan jawa lainnya.

Pada 1919, setahun setelah naskah Le royaume de Crivijaya-nya Coedes yang menghebohkan itu, Jean Philippe Vogel (1871-1958), profesor Universitas Leiden Belanda, seorang ahli sanskerta dan epigrafi yang pernah bekerja untuk Archaeological Survey of India sepanjang 1901 hingga 1914, membuat tulisan bertajuk Het Koninkrijk Crivijaya.

Pada tahun yang sama, Nicolaas Johannes Krom (1883-1945)--ilmuwan barat yang digadang-gadang sebagai orientalis, epigrafis, arkeolog, peneliti sejarah dan budaya tradisional Indonesia generasi awal--mengusung tema sejarah Kerajaan Sriwijaya saat pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Leiden, Belanda.

Dalam pidato pamungkasnya “…di dalam sejarah Jawa, menyusup masa pemerintahan raja-raja Sumatera, yakni raja-raja Sriwijaya,” ungkapan pidatonya ini diberi judul ”De Sumatraansche Periode des Javaansche Geschie Denis”. Bukti yang dikemukakannya, ialah pemakaian banyak kata Melayu pada piagam Gandasuli dari tahun 832 yang ditemukan di Jawa Tengah. Pidato pamungkas Krom ini termuat dalam buku Krom yang terbit pada 1926. Judulnya Hindoe Javaansche Geschiedenis. 

Pengaruh tuah Le royaume de Crivijaya-nya Coedes juga mengundang lahirnya The Empire of The Maharaja, King of The Mountains and Lord of The Isles, besutan ilumuwan Inggris C.O. Blagden (1864-1949) pada 1920. Sejak tahun itu pula, setelah membaca tulisan Coedes, L.C. Westenenk, Residen Belanda di Palembang, mulai mencari peninggalan-peninggalan kuno yang ada di wilayah kekuasaannya.

Atas dongengan Melayu tersebut,pada tahun 1923, Westenenk mendapatkan dengan tidak sengaja sebuah padmasana serta sebuah fragmen arca yang terbuat dari batu granit di sebuah bukit yang selanjutnya disebut Bukit Siguntang.Selanjutnya Sekitar 5 km ke arah barat laut dari Bukit Siguntang, ia menemukan Prasasti Talang Tuo yang berangka tahun 684 Masehi.”

Masih pada 1920, L.C. Westenenk mendapat laporan dari seorang Belanda bernama Batenburg, yang karib dengan keluarga Melayu di tepi Sungai Tatang, anak Sungai Musi, Kampung 35 Ilir, Kedukan Bukit. Di wilayah yang sekarang termasuk Kecamatan Ilir Barat II, Palembang, menemukan prasasti yang kemudian hari dikenal dengan prasasti kedukan bukit.

Westenenk menyampaikan temuan itu kepada Frederik David van Bosch, seorang ahli purbakala, pada 30 November 1920. Kisah penemuan Prasasti Talang Tuwo dan Prasasti Kedukan Bukit pun dimuat dalam laporan purbakala triwulan keempat tahun 1920.

Selanjutnya narasi sejarah Kerajaan Sriwijaya dihidupkan kembali oleh Gabriel Ferrand, seorang Minister Plenipotentiaire. Sama dengan Coedes, dia juga sarjana Perancis. Jika sebelumnya para penyokong teori narasi Kerajaan Sriwijaya hanya menulis analisa-analisa dan temuannya di jurnal-jurnal ilmiah, makalah di podium kampus-kampus. 
Ferrand (1864-1935) melanjutkan narasi kerjaan sriwijaya pada tahun  1922, dengan bukunya setebal 188 halaman; L’Empire Sumatranais de Criwijaya. Itulah buku pertama yang menyuguhkan cerita kebesaran Sriwijaya dengan alur penuh dramaturgi. Kisah penuh bumbu seperti yang diyakini orang banyak hingga kini.

Disamping memaknai tafsir-tafsir para sarjana pendukung teori Coedes, satu di antara kekuatan Ferrand sehingga berhasil membangun narasi sejarah Kerajaan Sriwjaya yang meyakinkan, karena kelihaiannya menggunakan sumber dari berita Arab dan China.

Teori2 diataslah yang selalu dipakai para sejarawan dan peneliti selanjutnya dalam menulis Kerajaan Sriwijaya tanpa melakukan riset ulang dari bukti sejarah yang ada. Mereka hanya mengamini apa yang ditulis oleh ilmuwan kolonial dan mengajarkannya kembali kepada murid mereka, termasuk juga menjadi buku sumber sejarah di sekolah sekolah dasar sampai perguruan tinggi. 

Padahal berdasarkan penelitian yang dilakukan beberapa peneliti asli bangsa Indonesia yang langsung ke bukti sekarah, seperti Babe Ridwan Saidi menyimpulkan bahwa Kerajaan Sriwijaya itu tidak ada alias Fiktif. Hal ini dilandasi bahwa didalam bukti sejarah nya tidak pernah ada kata Kerajaan Sriwijaya.

Babe Ridwan Saidi berkeyakinan bahwa bahasa yang ada tertulis pada bukti sejarah itu adalah bahasa Armenia, bukan bahasa palawa atau sansekerta seperti apa yang diungkap oleh ilmuwan kolonial tersebut. Ridwan mengaku meneliti isi prasasti-prasasti tersebut karena sejak lama telah mempelajari bahasa-bahasa kuno. Penjelasan tentang prasasti ini juga telah dituangkan dalam bukunya yang berjudul 'Rekonstruksi Sejarah Indonesia'.

Pendapat hampir sama juga apa yang dikemukan oleh Peneliti “Santosaba Piliang” dan Jurnalis sejarah lokal “Wenri Wanhar”, yang berdasarkan hasil penelitian mereka bahwa Sriwijaya itu bukanlah kerajaan, tetapi sebuah Kedatuan atau kerapatan adat  yang menguasai sumatera saat itu. 

Mereka berkeyakinan bahwa tidak akan ada dan tidak akan mendapati satu pun kalimat Kerajaan Sriwijaya dalam berita Arab dan berita Cina yang menjadi sumber penelitian ilmuwan Kolonial itu. Seperti halnya  Ferrand membangun dramaturgi dengan memanfaatkan sumber berita Arab awal masehi. Misalnya, catatan Ibnu Hordazbih (844-848) berjudul Kitab al masalik wa’l mamalik.
Jelas-jelas di sana tertulis, “Raja Zabak dinamai orang Maharaja.”  Tapi, mereka main sirkus dengan menyebut, “dalam bahasa Arab dan Parsi, Sriwijaya dinamai Zabak.” Tentang diksi Sriboga, Sribuza, San-fo-tsi, Cha-li-fo-cha,Shih-li-fo-shih, sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya.

Disayangkan selanjutnya, sejarahwan  berikutnya yang merupakan murid ilmuwan kolonial itu mengamini begitu saja. Tiap muncul diksi Zabak, atau yang sebunyi dengannya dalam berita-berita Arab, langsung saja dianggap Sriwijaya. Padahal, tak satu pun kata Sriwijaya ditemukan di dalamnya.

TRUE BACK HISTORY OF INDONESIA

Bogor, 4 Agustus 2021
Lebih baru Lebih lama

Tenda Kisah

Tenda Motivasi

Formulir Kontak