Oleh : Shobri, M.E.I.
TendaBesar.Com - Opini - Islam adalah agama yang tidak hanya meperhatikan aspek hubungan manusia dengan Rabb-Nya sebagai pencipta, akan tetapi islam juga memperhatikan kebutuhan uamat manusia dalam menjalankan hari-harinya, maka dengan demikian Allah mensyaari’atkan kewajiban bekerja bagi hambanya.
Perintah bekerja Allah wajibkan semenjak nabi yang pertama, Adam Alaihissalam sampai nabi yang terakhir, Muhammmad SAW . Perintah ini tetap berlaku kepada semua orang tanpa membeda-bedakan pangkat, status dan jabatannya. Demikian juga Allah telah berjanji akan memberikan rizki kepada semua makhluq-Nya.
Akan tetapi janji tersebut bukan dengan “cek kosong”. seseorang akan mendapatkan rizki kalau dirinya mau berusaha, berjalan dan bertebaran di penjuru-penjuru bumi. Karena Allah menciptakan bumi dan seisinya untuk kemakmuran manusia. Siapa yang mau berusaha dan bekerja maka dialah yang akan mendapat rizki, kemajuan dan rahmat dari Allah. Dan barang siapa yang bermalas malasan dalam hidupnya, maka dia akan mengalalmi kesulitan dan kemunduran.
Untuk lebih lengkapnya uraian di atas mari kita simak beberapa ayat yang melatar belakangi penulisan artikel berikut ini:
Al Qur’an Surat 9, At Taubah: 105
Artinya: Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. 9, At Taubah: 10)
Al Qur’an surat An Nahl ayat: 97
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(Q.S. 16, An Nahl: 97)
Al Qur’an Surat Al Kahfi: 30
Artinya: Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik. (Q.S. 18, Al Kahfi: 30)
Hadits Rosulullah yang diriwayatkan Oleh Imam Ahmad
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: " عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ "
Artinya: “Rasulullah ditanya tentang pekerjaan yang paling baik, lalu beliau menjawab pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur”
Bekerja Dalam Islam
Secara etimologis sebagaimana disebutkan dalam kamus Al Munawwir bekerja diambil dari bahasa Arab yakni;الكسب adalah masdar dari كسب yang artinya “mengerjakan, berbuat, mengumpulkan atau mencari nafkah . Sementara dalam kamus Al Bisri disebutkan, الكسب , الكسبة والكسيبة maknanya adalah “sesuatu yang diperoleh atau keuntungan”. Padanan kata yang yang lain dalam bahasa arab yang maknanya searah dengan كسب adalah عمل yang juga bermakna bekerja, melakukan atau membuat . Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia bekerja diartikan sebagai “Perbuatan melakukan sesuatu kegiatan yang bertujuan mendapatkan hasil; hal pencarian nafkah”.
Secara terminology Dr. Yusuf Al Qordhawi menjelaskan dalam bukunya دَوْرُالْقِيَامِ وَالْأَخْلَاقِ فِى إِقْتِصَادِ الْإِسْلَامىِ , sebagai berikut :
الكسب هو كل المهارات والتصميم التي تحمل كلا من الجسم والعقل من العقول البشرية، لمعالجة هذه الموارد الطبيعية من أجل مصالحها
“Segala kemampuan dan kesungguhan yang dikerahan manusia baik jasmani maupun akal fikiran, untuk mengolah kekayaan alam ini bagi kepentingannya”
Kesimpulannya bahwa bekerja dalam islam adalah “melakukan segala bentuk aktivitas dengan seluruh kemampuan yang dimiliki secara sungguh-sungguh untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sesuai dengan prinsi-prinsip syari’ah” (Pen)
Dari definisi diatas, Jika dikaitkan dengan beberapa ayat yang menjadi landasan penulisan artikel ini maka kita akan menemukan beberapa hal yang yang sangat urgen dalam konsep bekerja menurut islam.
Dalam islam bekerja dikategorikan sebagai amal shalih, maka definisi amal shalih dapat kita lihat pada beberapa pendapat pakar di bawah ini:
Syeikh Muhammad Abduh; “Amal shalih adalah segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara keseluruhan”.
Sementara menurut Syeikh Az-Zamakhsari; "Amal Saleh adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan atau Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam".
Jika menelaah dari defenisi Muhammad Abduh dan Zamakhsari di atas, maka seorang yang bekerja pada suatu badan usaha (perusahaan) dapat dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak memproduksi, menjual atau mengusahakan barang-barang yang haram.
Dengan demikian, maka seorang karyawan yang bekerja dengan benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akherat.
“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.”(Qs,18, Al Kahfi : 30).
Berdasarkan tiga ayat diatas, yaitu At-Taubah 105, An-Nahl 97 dan Al-Kahfi 30, maka Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan akherat. Tetapi hal yang paling penting, adalah penekanan kepada akherat itu lebih utama daripada penekanan terhadap dunia (dalam hal ini materi) sebagaimana semangat dan jiwa Al-Qur’an surat Al-Qhashsash ayat 77.
Surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk bekerja, dan Allah pasti membalas semua yang telah dikerjakan. Ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah akan memperlihatkan hasil kerja manusia selama di dunia kepada Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Aisyah berkata “jika engkau kagum terhadap bagusnya amal seseorang muslim maka bacalah:
Yang paling unik dalam ayat ini adalah penegasan Allah bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik dari apa yang dikerjakan.
Lebih jauh Surat An-Nahl : 97 menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam bekerja dan menerima upah atau balasan dari Allah. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama.
Hal yang menarik dari ayat ini, adalah balasan Allah langsung di dunia (kehidupan yang baik atau rezeki yang halal) dan balasan di akherat (dalam bentuk pahala dan syurga).
Sementara itu, Surat Al-Kahfi : 30 menegaskan bahwa balasan terhadap pekerjaan yang telah dilakukan manusia, pasti Allah balas dengan adil. Allah tidak akan berlaku zalim dengan cara menyia-nyiakan amal hamba-Nya. Konsep keadilan dalam bekerja dan menerima upah inilah yang sangat mendominasi dalam setiap praktek dunia kerja yang pernah terjadi di zaman kejayaan Islam.
Lebih lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang kewajiban bekerja dan memperoleh upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Dalam hadits yang lain beliau juga menyampaikan betapa bekerja sangat urgen bagi pribadi seseorang, Beliau mensinyalir dalam sabdanya:
عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ رَسُولِ اللَّهِ قَالَ: " مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ، خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام، كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ "
Artinya: “Dari Miqdan r.a. dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bersabda: Tidaklah makan seseorang lebih baik dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s., makan dari hasil usahanya sendiri.” (H.R. Bukhari)
عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ، حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ : " أَنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ عَلَيْهِ السَّلَام، كَانَ لَا يَأْكُلُ إِلَّا مِنْ عَمَلِ يَدِهِ "
Artinya: “Dari hamam Bin Munabbih berkata telah menceritakan kepada kami oleh Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: Sesungguhnya Nabi Daud a.s., tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ "
Artinya: “Dari Abdullah ibnu Umar berkata: Rosulullah saw bersabda: berikanlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering” (H.R. Ibn Majah)
Demikianlah betapa banyak hadits-hadits yang memerintahkan kepada setiap orang agar mandiri dalam hidupnya dengan giat bekerja. Siapapun yang bersungguh-sungguh dalam bekerja maka Allah akan mencukupkan rizkinya. Dan sebaliknya bagi siapapun yang suka bermalas-malasan, tidak propesional maka ia akan tertinggal dan mengalami kemalangan.
Allah berfirman dalam Al Qur’an Surat 11, Hud : 6
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya[710] . semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” .(Q.S.11, Huud : 6)
Tujuan Bekerja Dalam Islam
Dalam bukunya Daurul Qiyaam wal Akhlaq fii Iqtishadil Islamy, Dr. Yusuf Qordhawi menyebutkan beberapa tujuan sesorang bekerja menurut perspektif Islam antara lain:
a) Bekerja untuk mencukupi kebutuhan sendiri
Seorang muslim secara syar’i sangat dituntut untuk bekerja karena karena banyak alasan dan sebab. Seorang muslim harus memiliki kekuatan, merasa cukup dengan yang halal, menjaga diri dari kehinaan meminta-minta yakni menjaga tangannya agar tidak senantiasa berada dibawah, karena islam mengharamkan meminta-minta jika bukan karena terpaksa. Rasulullah bersabda:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " الْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا، أَوْ فِي أَمْرٍ لا بُدَّ مِنْهُ "
Artinya: “ Dari Samroh Bin Jundab berkata, Rosulullah bersabda: meminta-minta adalah kotoran yang melumuri wajah seseorang kecuali meminta kepada pemerintah atau meminta sesuatu yang mau tidak mau dia harus melakukannya (H.R. At Thurmuzi)
Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda yang berbunyi:
عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: " لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ الْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكُفَّ اللَّهُ بِهَا وَجْهَهُ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ "
Artinya: Sungguh seorang yang berangkat ke gunung membawa tambangnya, lalu memikul seonggok kayu bakar di atas punggungnya, lalu ia menjualnya yang dengannya Allah menjaga wajahnya adalah jauh lebih baik baginya dari pada meminta-minta kepada orang lain yang mana orang tersebut memberi atau menolaknya” (H.R. Bukhari)
Demikianlah betapa islam sangat menekankan kepada ummatnya untuk menjadi manusia yang mandiri, manusia mulia yang tidak menggadaikan harga dirinya dengan meminta-minta.
Inilah orang-orang yang telah mengikuti jejak para Rosul terdahulu yang juga adalah pekerja keras dalam meningkatkan kemandirian hidupnya. Nabi Daud Adalah seorang penyulam ayaman dari daun kurma dan seorang tukang pembuat baju besi. Nabi Idris adalah tukang jahit yang senantiasa menyedekahkan kelebihan hasil usahanya setelah digunakan untuk memenuhi kebuthan hidupnya. Nabi Zakaria dikenal sebagai tukang kayu, adapun nabi Ibrahim, Musa dan Ishak adalah seorang pengembala. Sementara nabi Muhammad saw adalah serang pebisnis ulung.
b) Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga
Seorang muslim telah diamanahkan oleh Allah untuk mencukupkan kebutuhan keluarganya. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki posisi yang sama dalam tugas mencukupi kebutuhan keluaganya meskipun memiliki peranan yang berbeda .
Rasulullah bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ "
Artinya: Rasulullah bersabda “ Cukuplah berdosa, jika seseorang menyia nyiakan orang yang menjadi tanggung jawabnya” (H.R. Ahmad)
c) Bekerja untuk Masyarakat.
Nilai-nilai indah dalam islam adalah disyari’atkannya saling tolong menolong antara sesama manusia dalam berbagai macam kebutuhan. Nilai-nilai inilah yang mendapat perhatian yang sangat besar dari ulama-ulama islam. Imam Raghib dalam bukunya yang berjudul Kewajiban Bekerja menjelaskan:
“Bekerja di dunia mungkin saja pada satu sisi dapat bersifat mubah, akan tetapi pada sisi lain merupakan kewajiban, sebab tidak mungkin manusia akan leluasa beribadah, kecuali dengan cara memenuhi segala kebutuhan pokoknya. Maka memenuhi kebutuhan pokok itu wajib. Segala sesuatu yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengan sesuatu itu, maka hal itu sama wajibnya”
Seseorang akan mampu menolong, keluarganya, kerabat terdekatnya, tetangganya atau orang lain apabila dia memiliki kemampuan baik dalam hal materi maupun skill keahlian. Tidak mungkin para pemalas akan mampu memberikan pertolongan pada orang yang membutuhkan, karena dia sendiri tidak kuasa menolong dirinya sendiri. Itulah mengapa bekerja menjadi sangat penting antara lain untukk saling menolong antar sesama.
Allah berfirman
Artinya " …dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya". (Q.S. Al Maidah: 2)
Dalam Ayat Yang lain Allah berfirman:
Artinya: dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. At Taubah: 71)
d) Bekerja untuk semua makhluk secara umum
Sungguh betapa Allah telah meramu hidup manusia berdampingan dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain. Tidak ada satu makhluk-pun yang tidak membutuhkan makhluk yang lain. Demikian juga manusia, siapapun dia pejabat sekelas raja atau wong deso rakyat jelata, memiliki ketergantungan yang sama kepada makhluk lainnya. Manuasia tidak bisa hidup normal jika tidak ada mikroba yang menyuburkan tanaman. Demikian juga segala macam binatang tidak akan bisa hidup jika tidak ada bantuan manusia yang mengelola bumi. Sungguh siklus hidup ini telah diciptakan begitu indah oleh Allah SWT.
Mari kita simak salah satu hadits Rosulullah yang memnggambarkan betapa kita dengan makhluk lain saling memiliki ketergantungan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
Artinya: “Dari Anas Bin Malik R.A ia berkata telah bersabda Rosulullah saw “Tidaklah seorang muslim menananm suatu tanaman atau menumbuhkan suatu tumbuh-tumbuhan, lalu dimakan oleh burung , manusia atau binatang ternak kecuali baginya pahala sedekah” (H.R. Bukhari-Muslim)
Sungguh hadits di atas begitu indah dan menjadi spirit bagi kaum mslimin, betapa tidak hampir tidak satupun aktifitas pekerjaan yang dilkukan oleh manusia kecuali ia akan mendaptkan ganjaran pahala dari Allah swt. Namun tentu pekerjaan itu adalah pekerjaan yang tidak kontradiktif dengan aturan syari’ah para pekerjanya tidak musyrik alias berbuat syirik kepada Allah dan pekerjaan tersebut dijamin kehalalannya dalam kontek hukum Allah SWT.
e) Bekerja untuk memakmurkan bumi
Bekerja tidak tidak hanya untuk meutupi kepentingan pribadi, keluarga dan masyarakat. Tapi islam juga mengajarkan kepada manusia untuk bekerja memakmurkan bumi. Bahkan ia merupakan salah satu tujuan syari’ah islam yang ditegakkan Al Qur’an dan diserukan para ulama. Imam Raghib Al Ashfahani menerangkan bahwa Allah menciptakan manusia karena tiga alasan:
Artinya: “Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya[726] karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)". (Q.S. Hud : 61)
f) Bekerja untuk pekerjaan itu sendiri
Makna ungkapan ini adalah apabila seseorang memiliki pekerjaan tentunya pekerjaan yang sesuai syari’ah islam, maka hendaklah ia melakukannya dengan totalitas, tidak asal-asalan. Rasulullah mengisyaratkan hal ini dalam sebuah haditnya.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا، فَلْيَفْعَلْ "
Artinya: “Rasulullah saw bersabda, jika hari kiamat datang dan pada tangan seseorang diantara kamu terdapat sebuah bibit tanaman, jika mampu menanamnya sebelum datangnya kiamat itu, maka hendaklah ia melakukannya” (H.R. Ahmad)
B. Hubungan Bekerja Dengan Berbagai Kehidupan Sosial
Bekerja memberikan dampak manfaat yang sangat banyak baik terhadap pekerja itu sendiri maupun terhadap lingkungan dan kehidupan social masyarakat pada umumnya antara lain:
• Bekerja berdampak pada keamanan dan ketertiban sosial
Dengan adanya aktifitas bekerja, maka seseorang akan terhindar dari pengangguran dan apabila ia terhindar dari pengangguran maka ia akan terhindar dari berbuat kejahatan dan apabila dirinya tidak terlibat dalam perbuatan jahat, maka keamanan dan ketertiban social masyarakat akan tetap terjaga. Sebaliknya apabila kebanyakan masyarakat tidak memiliki aktifitas bekerja maka kekacauan, konplik horizontal sangat mudah terjadi. Itulah mengapa islam mensyari’atkan kewajiban bekerja kepada pemeluknya agar manusia tidak terjebak dalam perbuatan jahat. Bekerja merupakan refleksi dari rasa syukur kepada Allah dan bekerja merupakan bagian dari ibadah kepada Allah swt. Apabila seseorang bekerja dengan senantiasa berniat untuk beribadah hanya kepada Allah dan kemurnian tauhidnya tidak dicampur adukkan dengan kesyirikan maka Allah akan mengaruniakan keamanan padanya. Allah berfirman
Artinya: orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Al An’am: 82)
• Bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.
Bagi siapapun yang bersungguh-sungguh dalam bekerja maka Allah akan mengubah keadaannya. Jika ia seorang yang miskin maka Allah akan mengayakannya.
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(Q.S. Ar Ra’d: 11)
• Bekerja untuk menghilangkan kemalasan
Dengan bekerja seseorang dapat meminimalisir sifat yang melekat pada dirinya. Tidak sedikit orang yang awalnya pemalas, namun setelah mereka bekerja, mereka menjadi sangat bersemangat dalam hidupnya.
• Bekerja untuk mengasah kecerdasan
Orang yang biasa bekerja akan memiliki planning dalam menentukan arah hidupnya ke depan. Biasanya arah dan tujuan hidup serta planning itu hadir seiring berjalannya waktu bekerja. Inilah yang disebut mengapa bekerja adalah bagian dari mengasah kepandaian. Yusuf meminta dirinya diangkat menjadi menteri karena dia memiliki kepandaian yang ia dapatkan dari pengalaman hidupnya.
Artinya: Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".(Q.S. yusuf: 55)
• Bekerja untuk bersyukur kepada Allah
Artinya: ….Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih. (Q.S. Saba’: 13)
• Bekerja untuk menunaikan amanah
Bekerja itu adalah bagian dari menunaikan amanah Allah kepada hamba-Nya. Karena bekerja merupakan perintah langsung dari Allah dan Rosulnya, maka perintah itu pada hakekatnya adalah amanah.
Artinya: salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (Q.S. Al qosos: 26)
• Bekerja untuk kekuatan Negara
Bekerja adalah bagian dari membangun kekuatan ekonomi bangsa dan Negara. Semakin produktif peduduk suatu Negara maka akan semakin maju kekuatan ekonominya, dengan kuatnya ekonomi sebuah bangsa, maka ia mampu menggentarkan dan menakut-nakuti bangsa lain yang ingin mengganggu bangsanya. Oleh karena itu bekerja dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap kekuatan sebuah bangsa.
Artinya: dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Q.S. Al Al anfal : 60)
• Bekerja untuk kesehatan jasmani, rohani, social dan ekonomi
Sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1975 adalah sebagai berikut yaitu “suatu kondisi yang terbebas dari segala jenis penyakit, baik fisik, mental, dan sosial. Batasan kesehatan tersebut sekarang telah diperbaharui. bila batasan kesehatan yang terdahulu itu hanya mencakup tiga aspek, yakni: fisik, mental, dan sosial, maka dalam Undang- Undang N0. 23 Tahun 1992, kesehatan mencakup 4 aspek, yakni: fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan ekonomi.
Batasan kesehatan tersebut diilhami oleh batasan kesehatan menurut WHO yang paling baru. Pengertian kesehatan saat ini memang lebih luas dan dinamis, dibandingkan dengan batasan sebelumnya. Hal ini berarti bahwa kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan sesuatu secara ekonomi. Keempat dimensi kesehatan tersebut saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan seseorang, kelompok atau masyarakat. maka kesehatan bersifat menyeluruh mengandung keempat aspek.
Perwujudan dari masing-masing aspek tersebut dalam kesehatan seseorang antara lain sebagai berikut:
• Kesehatan fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan.
• Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional, dan spiritual. Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran. Emosional sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya. Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa (Allah SWT dalam agama Islam). Misalnya sehat spiritual dapat dilihat dari praktik keagamaan seseorang. Dengan perkataan lain, sehat spiritual adalah keadaan dimana seseorang menjalankan ibadah dan semua aturan-aturan agama yang dianutnya.
• Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan menghargai.
• Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif, dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Bagi mereka yang belum dewasa (siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan), dengan sendirinya batasan ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya berprestasi bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan sosial, keagamaan, atau pelayanan kemasyarakatan lainnya bagi usia lanjut.
Dari penjelasan ini, maka terlihat betapa peranan bekerja dalam menciptakan kesehatan bagi seseorang. Dengan bekerja yang dilandasi keimanan, maka seorang muslim telah mengalami sehat secara spiritual karena bekerja dalam islam adalah aktualisasi ibadah kepada Allah.
Setelah mereka bekerja seseorang akan mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya maka ia mendapatkan sehat secara ekonomi, setelah cukup hidupnya kemudian dia berinfak di jalan Allah maka dia telah memiliki kesehatan secara social. Apabila rentetan kesehatan ini telah ia lalui maka akan lahir kebahagiaan dalam hidupnya dan dari kebahagiaan itu lahirlah fisik yang sehat.
Wallahu’alam.