TendaBesar.Com - Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah resmi sahkan rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU) pada sidang paripurna, Senin, (5/10/2020)
Dari 9 fraksi yang ada, 6 fraksi di antaranya menyetujui tanpa catatan, 1 fraksi menyetujui dengan catatan dan 2 fraksi menolak diundangkan.
6 fraksi yang menyetujui tanpa catatan adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerindra, Fraksi Golkar, Partai Kebangkitan Bnagsa (PKB), Fraksi Partai Nasdem, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Sementara itu ada dua fraksi yang menolak RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang, yakni Fraksi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Demokrat.
Adapun satu fraksi yang menerima dengan catatan adalah fraksi Partai Amanat Nasional (PAN). Partai matahari terbit tersebut menyetujui disahkannya RUU Ciptaker menjadi undang-undang, namun dengan catatan kritis.
Inilah beberapa catatan kritis dari Fraksi PAN yang disampaikan oleh Ketua Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay.
Catatan pertama: PAN menilai pembahasan RUU Ciptaker terlalu tergesa-gesa serta minim partisipasi publik. PAN menilai mestinya penyusunan aturan turunan undang-undang Ciptaker harus menyerap aspirasi publik secara luas.
Catatan Kedua: PAN mencermati UU Ciptaker dari sektor kehutanan bahwa aturan yang ada dalam RUU Ciptaker masih mengesampingkan partisipasi masyarakat. Terkhusus berkaitan dengan penghapusan izin lingkungan, penyelesaian konflik lahan hutan, dan lainnya
"Karena itu, tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa hasil dari RUU ini kurang optimal," kata Saleh saat menyampaikan pandangan fraksinya pada sidang paripurna Senin, (5/10/2020).
Catatan Kedua: PAN mencermati UU Ciptaker dari sektor kehutanan bahwa aturan yang ada dalam RUU Ciptaker masih mengesampingkan partisipasi masyarakat. Terkhusus berkaitan dengan penghapusan izin lingkungan, penyelesaian konflik lahan hutan, dan lainnya
Catatan ketiga: Pada sektor pertanian, PAN masih melihat keran inpor yang terlalu longgar. Oleh karenanya PAN meminta pemerintah untuk tidak membuka keran impor pangan dari luar negeri terlalu lebar.
"Tanpa membuka keran impor saja, daya saing komoditas pertanian kita sulit dikendalikan. PAN menilai bahwa pengendalian harga komoditas pertanian yang dapat melindungi konsumen dan petani sekaligus, belum menjadi agenda dalam RUU Ciptaker," pinta Saleh.
Catatan Keempat: Dalam bidang ketenagakerjaan, PAN belum melihat penjelasan lebih khusus mengenai aspek rencana penggunaan tenaga kerja asing. PAN menilai sebaiknya hal itu dicantumkan secara spesifik agar di belakang hari tidak terjadi multi interpretasi.
"Poin penghapusan ketentuan Pasal 64 dan 65 dalam UU Ketenagakerjaan akan melahirkan banyak pekerja kontrak yang tidak terproteksi dengan fasilitas-fasilitas yang telah diakomodir dalam UU Ketenagakerjaan," ujar Saleh.
PAN mengkhawatirkan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan yang menggunakan pekerja kontrak. Padahal, menggunakan pekerja kontrak itu bertentangan dengan amanat Pasal 27 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi 'Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Catatan Kelima: PAN menyoroti masalah sertifikasi halal suatu produk. PAN melihat ada celah dari beberapa pasal dalam RUU Ciptaker yang berpeluang besar melahirkan praktik moral hazard oleh pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK), dimana para pelaku usaha dengan mudah melakukan ketidak jujuran.
"Moral hazard muncul akibat dari pengakuan sepihak dari UMK tersebut. Padahal, kehalalannya belum bisa dipastikan kebenarannya. Harusnya RUU Ciptaker ini bisa mengatur lebih spesifik terkait dengan labelisasi produk halal melalui Lembaga yang resmi dan disetujui," lanjut Saleh.
Catatan keenam: PAN menyoroti isi Pasal 88B dari UU Ciptaker yang menyebutkan bahwa upah para pekerja akan ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau hasil.
Saleh mengatakan bahwa pasal tersebut berpotensi melahirkan ketidakadilan bagi kesejahteraan para pekerja/buruh.
"Penghasilan yang diterima bisa berada di bawah upah minimum yang seharusnya. ketentuan ini hanya cocok diterapkan kepada pekerja profesional, bukan ke buruh atau pekerja biasa," jelas Saleh.
Catatan Ketujuh: PAN menyoroti masalah persoalan pesangon. Fraksi partai matahari itu mengusulkan agar jumlah pesangon para pekerja tidak dikurangi, melainkan tetap 32 kali gaji. Namun jika sebelumnya hal tersebut dibebankan ke pengusaha maka melalui Ciptaker juga dibebankan pembayarannya kepada pemerintah.
"Saat terjadi PHK, pemberi kerja wajib membayar pesangon sebesar 23 kali gaji. Sedangkan pemerintah membayar 9 kali gaji melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Hal ini meringankan beban pemberi kerja," usul Saleh
Saleh mengusulkan agar skema tersebut bisa dipertimbangkan untuk diatur dan dipertimbangkan lebih lanjut sebab dapat menjadikan APBN gelembung.
"Skema ini perlu diatur dan diperdalam lebih lanjut. Sebab skema JKP ini direncanakan juga akan menyerap Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN)," pungkas Saleh (fhj/tendabesar)