TendaBesar.Com - Jakarta - Hari demi hari penggiat buruh terus menguliti UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja (Ciptaker). Berbagai temuan oleh para pakar hukum atau aktivis buruh terus mengundang berbagai pertanyaan kepada pemerintah maupun DPR.
Akibatnya penilaian dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan DPR ditenggarai menurun drastis
Salah seorang aktivis buruh perempuan dari Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Dian Septi menemukan adanya ketidak adilan dalam undang undang ciptaker yang sudah disahkan oleh DPR tersebut.
Dian mengkritik Undang-undang (UU) Ciptaker sebagai aturan yang bersifat patriarki, terutama untuk kelompok pekerja golongan perempuan.
Perempuan pemberani itu mengatakan bahwa buruh perempuan menjadi kelompok paling rentan mendapat perlindungan dalam UU Cipta Kerja, dikarenakan regulasi dalam UU tersebut tidak mempedulikan hakikat seorang wanita yang kerap melalui fase reproduksi seperti haid dan hamil.
"Kita tahu bahwa Omnibus Law mengabaikan kerja reproduksi. Padahal sistem ekonomi saat ini hadir untuk ramah reproduksi, yang kemudian memberikan tempat untuk pemulihan pekerja ketika dia lelah setelah bekerja," ucap Dian, Senin (19/10/2020).
Dian menilai adanya celah perusahaan melakukan tindak kejahatan dengan mengabaikan fase-fase dimana pekerja perempuan membutuhkan istirahat. Seperti misalnya pada saat cuti hamil, ada masa dimasa pekerja perempuan ngidam kemudian muntah-muntah dan membutuhkan istirahat. Maka dicelah-celah itu perusahaan punya potensi untuk mengurangi gaji pekerja, karena mereka digaji per jam.
"Ketika kemudian buruh perempuan dalam fase reproduksi entah kemudian hamil, haid, menyusui, ada fase-fase di mana kemudian butuh istirahat. Di 3 bulan pertama cuti hamil, ada masa dimana ngidam, terus muntah, butuh istirahat ke klinik, dan di jam-jam ketika istirahat itulah ada potensi dia tidak dibayar karena upahnya dihitung per jam," tutur Dian.
Bahkan pada masa sekarang pun model seperti itu sudah diterapkan oleh banyak perusahaan. Dimana pekerja perempuan yang tidak masuk bekerja dengan alasan tertentu, maka hari itu dia tidak dibayar. Artinya para pekerja tidak kerja maka tidak dibayar meskipun ketidak hadirannya karena adanya sebab seperti sakit dan lainnya.
"Dan sebenarnya pada masa-masa sekarang ini hal itu sudah berlaku, artinya tidak bekerja maka tidak diupah. Dan itu sangat mengabaikan kesehatan reproduksi kaum perempuan," kritik Dian.
Aktivis perempuan itu sangat menyayangkan pemberlakuan aturan tersebut dalam UU Cipta Kerja tersebut, karena akan sangat merugikan bagi pekerja perempuan.
Dian menyebutkan bahwa banyak pengusaha yang melanggar hak reproduksi buruh perempuan meskipun aturannya telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Misalnya cuti cuti haid yang termaktub pada Pasal 81 dan cuti melahirkan pada Pasal 82. Di sana disebutkan hak cuti dapat diberikan jika sang pekerja merasa sakit. Dalam hal ini banyak perusahaan yang mengakali aturan tersebut agar terbebas dari beban gaji dengan memberikan surat sakit kepada buruh perempuan, bukan hak cuti haid atau hamil. Ini bukti bahwa UU Ciptaker lebih berpihak pada pengusaha ketimbang pekerja atau buruh.
"Harusnya kalau UU Cilaka memang pro terhadap buruh perempuan, ini diperkuat dong perlindungannya. Juga cuti hamil dan melahirkan, yang juga banyak celah. Banyak kemudian buruh perempuan yang ngaku tidak hamil karena takut diputus kontrak," tegas Dian. (ah/tendabesar)