TendaBesar.Com - Jakarta - Kondisi politk di Indonesia yang sedang panas dengan adanya demo dan tuntutan berbagai elemen masyarakat kepada Presiden Jokowi untuk membatalkan UU Omnibuslaw ternyata masih belum menunjukkan titik terang, justru muncul tuntutan dari beberapa elemen masyarakat agar Presiden Jokowi mundur makin massif bergema.
Disisi lain,aparat keamanan dan Penjabat Tinggi Negara justru melakukan tindakan represif koersif dengan menyebut pendemo sebagai perusuh dan menyebarkan hoaks serta melakukan penangkapan terhadap mereka.
Akan tetapi ternyata dibelahan lain di sebuah Negara Muslim di Asia Tengah, yaitu negara Kirgistan, Presidennya justru mundur demi menghindari dari tindakan represif tersebut seperti kekacauan dan pertumpahan darah, akibat adanya demo besar besaran dinegara tsb.
Presiden Kirgistan Sooronbay Jeenbekov menyatakan mengundurkan diri untuk menghindari pertumpahan darah, buntut demo yang berlangsung selama berhari-hari. "Saya tidak ingin dalam sejarah sebagai presiden yang menumpahkan darah dan menembak warganya sendiri," ujar Jeenbekov dalam rilisnya, yang diberitakan oleh kompas.com., 15/10/2020.
"Militer dan pasukan keamanan jelas akan menggunakan senjata guna melindungi bangunan negara. Darah pun terancam tertumpah," kata dia. "Karena itu, saya meminta kepada kedua belah pihak untuk tidak jatuh ke dalam provokasi," kata presiden berusia 61 tahun tersebut.
Inilah contoh pemimpin yang baik dan tau diri, tidak mementing diri sendiri dan oligarki mereka demi mementingkan kepentingan rakyatnya.
Dalam sejarah kepemimpinan di Negara kita juga sudah banyak contoh pemimpin yang baik sesuai dengan pembukaan UUD 45 dan Pancasila, selain juga tahu diri, juga sangat mementingkan rakyatnya dan bersedia untuk mundur.
Dalam bincang Breaking News di FUI Channel (Youtube), ketika ditanya oleh AL Ustadz, M. AL Khaththath, tentang kalau presiden tidak mau membatalkan UU Omnibuslaw, Pakar hukum Prof. Dr. H. Eggi Sudjana Mastal, SH, MSI atau lebih dikenal sebagai Bang Eggy, menyatakan bahwa di Indonesia ini tradisi pengunduran diri ini sudah ada sejak presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, selanjutkan juga oleh Suharto, BJ Habibie, dan Gus dur, Karna mereka memakai Konsep Tahu Diri.
“... Pake Konsep tau diri, yaitu megundurkan diri dong, karna gini, suharto orang boleh bilang dia diktator 32 tahun, tapi endingnya dia tahu diri, dia ngak maksakan diri, dia masih bisa memerintahkan TNI-POLRI untuk menjaga dirinya sebagai presiden, tapi dia menyatakan diri mengundurkan diri“ ungkap Bang Eggy menjelaskan.
“Kemudian terlepas juga konteks Sukarno, Dia juga mengundurkan diri dalam versi lain, yaitu memberikan surat perintah sebelas maret, kemudian kembali kepada Habibie, habibie juga mengundurkan diri, ditolak laporan pertanggungjawabannya, dia tidak maksakan diri untuk tetap menjadi presiden, dalam pengertian ikut pemilu, dia tidak mau , dia menjaga diri dan sangat tau diri” lanjut Bang Eggy.
“Dan terakhir Gus Dur, Gus Dur juga tahu diri, dengan segala hormat saya dengan Gus Dur, dia luar biasa, ya… ngak mau memaksakannya, padahal dia punya pasukan berani mati, dia masih panglima TNI-POLRI karna presiden, tapi dia lebih baik mengundurkan diri, kalo daripada terjadi tumpah darah” ungkap Bang Eggy lebih lanjut.
Untuk lenih jelasnya tentang perbincangan breaking new diatas dapat dilihat di kanal youtube, FUI Channel, pada : https://www.youtube.com/watch?v=j8z0YslX6ZY
Tercata dalam sejarah, sebagian besar presiden di Negeri ini memang suksesi kepemimpinannya di landaskan pada penyerahan kekuasaan yang tidak normal seperti yang dialami oleh Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Selebihnya dilakukan dengan pergantian secara terpaksa tetapi detap dilakukan dengan damai, tanpa adanya tumpah darah. Karna mereka menyadari bahwa Kelangsungan kehidupan bernegara yang damai dan tenteram adalah yang menjadi tujuan utama sesuai dengan Pemmbukaan UUD 45 dan Pancasila.
Diawali dengan Surat Perintah 11 Maret 1966, oleh Presiden Sukarno yang menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.
Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru.
Setelah terjadi beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dengan adanya kasus referendum provinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste), mendorong pihak oposisi yang tidak puas dengan latar belakang Habibie semakin giat menjatuhkan Habibie. Upaya ini akhirnya berhasil dilakukan pada Sidang Umum 1999, ia memutuskan tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.
Selanjut
Dengan banyaknya kebijakan yang kontroversial dan adanya isu Bulog Gate dan Brunei Gate yang dihembuskan oleh lawan politiknya, kondisi pemerintahan Gus Dus menjadi goyah. Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya.
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur.
Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur.
Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam inagurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.
Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001.
Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR.
Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Wakil Presiden saat itu, Diah Permata Megawati Setiawati Sukarnoputri atau Megawati.
Dengan kondisi yang tidak jauh berbeda seperti pendahulunya, Presiden Jokowi diharapkan untuk dapat mengambil kebijakan yang benar2 sesuai pembukaan UUD 45 dan Pancasila untuk mencabut UU Omnibuslaw cipta kerja, agar tidak tercatat dalam sejarah sebagai Seorang Presiden yang dipaksa mengundurkan diri atau dengan cara pemakzulan juga.
Oleh : H.G. Sutan Adil
*) Penulis adalah Ketua DPP FKMI (Forum Komunikasi Muslim Indonesia)
Bogor, 17 Oktober 2020